Dokter Seno datang kembali untuk mengecek keadaan. Dia pun melakukan pemeriksaan dalam lagi, dan dididapatkan baru bukaan 2 saja. Tuhan, sakit luar biasa yang hambamu ini alami sebelumnya, tidak berarti apa-apa. Diskusi dengan dokter, gue lakukan dengan tersengal-sengal karena menahan sakit. Dokter mengajukan opsi cesar karena air ketuban yang sudah pecah sementara tidak ada kontraksi yang signifikan dari rahim. Mau ditunggu sampai jam 9 malam pun, dokter Seno mengatakan tidak akan ada pembukaan berarti. Gue masi bersikeras untuk tetap lahiran normal, sementara Mba Era berkali-kali meminta sambil sedikit terisak untuk cesar saja sesuai anjuran dokter dengan mempertimbangkan kondisi ibu & bayi. Dia ga tega ngeliat gue menahan sakit yang luar biasa itu. Dokter Seno mengatakan ia dan suster-suster lainnya memuji perjuangan gue dan memberikan nilai 10 karena tidak sedikitpun gue menjerit dan bisa tetap tenang sedari mules pertama.
Akhirnya setelah berdiskusi cukup panjang, dan meminta restu suami, akhirnya kami memutuskan untuk cesar. Maafkan ibu ya nak, karena harus memaksamu keluar, tapi ini untuk kebaikan kita berdua.
Kembali gue diminta untuk menandatangi pernyataan persetujuan untuk cesar. Segera setelahnya, suami mengurus administrasi sementara itu para tenaga medis menyiapkan peralatan serta ruangannya. Setengah jam berlalu, gue pun diboyong ke ruang operasi. Perasaan tidak menentu saat itu, takut, gelisah, tidak bertenaga, lelah serta sakit mules karena induksi yang masih melanda. Jujur, I didn't prepared for this. Kelas senam hamil yang gue lakuin, terpaksa harus berakhir di gagal ujian. Maaf ya, suamiku dan terutama anakku karena tidak sesuai rencana kita.
Gue pasrah kemana suster membawa, dan baru sadar sudah mendekati ruang operasi saat dokter anestesi memperkenalkan diri sambil membaca data diri gue dan menanyakan gue yang bekerja di Hotel Borobudur. Ga satupun kata yang bisa terucap untuk meladeni dokter itu. Capeee dan ngantuk luar biasa. Persiapan operasi pun dilakukan, sudah ada dokter Seno serta tenaga medis lainnya. Hanya suara mereka saja yang dapat gue deteksi, karena gue minta untuk menutup muka gue supaya tidak perlu menyaksikan proses yang mereka lakukan. Gue takut parno. Gue takut saat itu.
Prosesi dimulai saat dokter anestesi menyuntikkan bius di belakang tulang punggung gue. Awalnya sempat terkejut, sampai bergidik, sehingga dokter harus mengulang, tetapi setelahnya berjalan mulus. Malahan gue pikir tidak terasa sakit. Induksi ngebuat mati rasa terhadap rasa sakit yang lain, sakitnya induksi melebihi sakit apapun. Sekujur badan pun mulai tidak terasa, pertama kaki, menjalar ke bagian perut kemudian tangan. I can't feel anything. Kedinginan mulai merayapi tubuh, sampai menggigil tak terkira. Dinginnya dasyat !
Proses cesar pun berlangsung, tanpa gue bisa merasakan apapun atau melihat apapun. Ya sesuai rekuest, kepala gue ditutupi sebuah kain. Gue sempet denger dokter Seno bilang "Perutnya sudah berbentuk bayinya" karena air ketubannya sudah pecah, Ya Tuhan, itu anakku, kasihan sekali dia, harus berlama-lama di dalam rahim ibunya tanpa air ketuban yang memadai :'(.
0 comments:
Post a Comment